Menjaga Api Demokrasi dari Teras Indonesia

Oleh : Muslimin, S.IP (Kepala Sub Bagian Partisipasi, Hubungan Masyarakat dan Sumber Daya Manusia)


Berbicara tentang demokrasi di Indonesia, sering kali pikiran kita tertuju pada hiruk pikuk politik di kota-kota besar. Namun harus kita sadari bahwa demokrasi itu tidak hanya tumbuh dari pusat kekuasaan, melainkan bisa lahir dan tumbuh dari daerah terluar yang mungkin saja jarang tersorot. Salah satunya Kepulauan Mentawai, daerah yang berdiri kokoh diteras depan Indonesia langsung berhadapan dengan Samudera Hindia.

Sayangnya, posisi strategis itu tidak selalu sejalan dengan perhatian pembangunan. Mentawai sering dianggap sebagai “pinggiran”, padahal sejatinya ia adalah wajah depannya Indonesia. Jika demokrasi ingin benar-benar kokoh, maka wajah depan ini harus diperhatikan. Dari Mentawai, kita harus bisa meneguhkan optimisme baru tentang masa depan demokrasi Indonesia.

Menyebut Mentawai sebagai teras Indonesia bukanlah sekadar metafora. Sama seperti teras rumah yang menjadi ruang pertama untuk menyambut tamu, Mentawai adalah pintu depan Indonesia di hadapan dunia. Maka membangun demokrasi di Mentawai berarti membangun demokrasi di wajah depan bangsa ini. Namun realitasnya, tantangan di Mentawai cukup besar. Akses antar-pulau yang masih terbatas, infrastruktur yang belum memadai hingga kondisi cuaca yang ekstrem sering menjadi kendala dalam penyelenggaraan pemilu. Meski begitu, justru di tengah keterbatasan itu kita menemukan semangat, masyarakat tetap hadir, tetap memilih dan tetap ingin suaranya didengar.

Namun harus kita pahami demokrasi tidak bisa hanya diukur dari lancarnya pemilu lima tahun sekali. Demokrasi sejati membutuhkan kesadaran masyarakat tentang arti penting partisipasi. Di sinilah pendidikan politik memegang peran penting. Di Mentawai, pendidikan politik harus dijalankan dengan cara yang sesuai dengan kondisi lokal. Tidak semua warga mudah mengakses internet, sehingga pendekatan tatap muka, dialog kampung atau sosialisasi berbasis komunitas adat jauh lebih efektif. Anak-anak muda juga harus diajak aktif karena mereka adalah generasi yang akan melanjutkan cita-cita demokrasi.

Selain itu, kelompok perempuan dan komunitas adat perlu mendapat ruang lebih luas. Demokrasi hanya bisa disebut sehat jika inklusif, memberi kesempatan kepada semua orang untuk terlibat. Dengan begitu, demokrasi di Mentawai bisa benar-benar tumbuh dari bawah dan untuk semua.

Satu hal yang patut diapresiasi, tingkat partisipasi pemilih di Mentawai selama ini sangat tinggi. Di saat sejumlah daerah lain mengalami gejala apatisme, masyarakat Mentawai tetap datang ke TPS. Ini bukti nyata bahwa demokrasi masih hidup di teras Indonesia. Namun tentu partisipasi tidak boleh berhenti di bilik suara. Demokrasi akan lebih bermakna jika masyarakat juga aktif mengawasi jalannya pemerintahan, ikut memberi masukan, bahkan berani menyuarakan kritik. Partisipasi yang berkelanjutan inilah yang akan menjaga demokrasi tetap sehat, tidak hanya prosedural.

Demokrasi bukan cuma soal pemilu yang tertib. Yang lebih penting adalah bagaimana hasil pemilu melahirkan pemimpin yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bagi Mentawai, ini berarti pemimpin yang peduli pada kebutuhan dasar masyarakat: perbaikan jalan dan pelabuhan, akses pendidikan yang lebih merata, pelayanan kesehatan yang layak, hingga perlindungan budaya lokal. Dengan begitu, demokrasi di Mentawai tidak hanya berhenti pada perhitungan suara, tapi benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari warganya. Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang memberi dampak nyata.

Meski jauh dari pusat, Mentawai memberikan alasan kuat untuk tetap optimis. Tingkat partisipasi yang tinggi, semangat gotong royong, dan kearifan lokal yang masih terjaga menjadi modal sosial yang sangat berharga. Jika semua itu dirawat dengan baik melalui pendidikan politik dan dukungan kebijakan yang berpihak, maka Mentawai bisa menjadi contoh bagaimana demokrasi tumbuh subur dari daerah terluar.

Optimisme ini perlu dijaga bersama. KPU dan Bawaslu harus terus aktif mengedukasi pemilih. Partai politik harus memberi ruang kaderisasi yang sehat. Pemerintah perlu memastikan pembangunan di Mentawai tidak lagi tertinggal. Dan masyarakat sendiri harus terus percaya bahwa suara mereka penting untuk masa depan bangsa.

Mentawai adalah teras bukan pinggiran Indonesia. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa demokrasi Indonesia bukan hanya milik kota-kota besar, melainkan juga hidup di pulau-pulau kecil yang jauh dari pusat kekuasaan. Optimisme demokrasi dari Mentawai adalah optimisme bagi Indonesia. Selama pendidikan politik dijalankan, partisipasi dijaga, dan kualitas demokrasi ditingkatkan, maka asa demokrasi tidak akan pernah padam, bahkan dari daerah terluar sekalipun.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 55 Kali.