Opini

116

Merawat Legitimasi Masyarakat Dalam Pilkada

Oleh : Agung Pramono, S.H (Staff Sub Bagian Partisipasi, Hubungan Masyarakat dan Sumber Daya Manusia) Pilkada atau pemilihan kepala daerah selalu menjadi momen penting bagi kehidupan demokrasi kita. Dari pilkada, masyarakat diberikan kesempatan nyata untuk menentukan arah kepemimpinan di daerahnya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kualitas demokrasi lokal sangat ditentukan oleh bagaimana pilkada itu dijalankan. Sebab dari sinilah legitimasi pemerintahan daerah dibangun, bukan hanya sekadar melalui prosedur formal, tetapi juga melalui partisipasi masyarakat dan kualitas proses pemilu. Partisipasi Pemilih, Napas Demokrasi Partisipasi pemilih adalah kunci dari keberhasilan pilkada. Angka partisipasi yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat merasa memiliki kepentingan dan harapan terhadap pemimpinnya. Sebaliknya, rendahnya partisipasi sering ditafsirkan sebagai bentuk apatisme, kekecewaan, atau bahkan hilangnya kepercayaan pada proses demokrasi. Dari perspektif hukum tata negara, partisipasi masyarakat bukan sekadar angka statistik. Konstitusi kita, UUD 1945, menjamin kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, tanpa keikutsertaan rakyat, proses demokrasi kehilangan substansinya. Pilkada hanya akan menjadi ritual formal jika masyarakat tidak hadir di bilik suara. Lebih jauh, legitimasi hukum dari seorang kepala daerah tidak cukup hanya ditentukan oleh kemenangan di atas kertas. Legitimasi itu harus ditopang oleh penerimaan masyarakat luas. Jika tingkat partisipasi rendah, seorang pemimpin mungkin sah secara hukum, tetapi rapuh secara legitimasi sosial. Hal ini berbahaya karena dapat mengganggu stabilitas pemerintahan dan kepercayaan publik. Kualitas Pemilu, Fondasi Legitimasi Namun, partisipasi pemilih saja tidak cukup. Kualitas pemilu menjadi faktor yang tak kalah penting. Pemilu yang jujur, adil, dan transparan akan menghasilkan kepercayaan, sementara pemilu yang diwarnai kecurangan hanya melahirkan ketidakpuasan. Kualitas pemilu bisa diukur dari beberapa aspek: profesionalitas penyelenggara, netralitas aparat, keadilan bagi peserta pemilu, serta keterbukaan informasi kepada publik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun Undang-Undang tentang Pilkada telah memberikan rambu-rambu yang jelas untuk mewujudkan itu semua. Tantangannya ada pada konsistensi pelaksanaan. Sebagai penyelenggara, KPU bersama Bawaslu memiliki tanggung jawab besar menjaga kepercayaan publik. Transparansi tahapan, akurasi daftar pemilih, keadilan dalam distribusi logistik, hingga akuntabilitas dalam penghitungan suara adalah hal-hal teknis yang memiliki dampak langsung pada persepsi masyarakat. Dalam konteks hukum, adagium “justice must not only be done, but also be seen to be done” atau “keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus tampak ditegakkan” sangat relevan. Pemilu bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga soal proses. Masyarakat harus melihat, merasakan, dan percaya bahwa proses berjalan jujur. Harapan pada Penyelenggaraan Negara Pilkada sejatinya bukan tujuan akhir. Ia adalah sarana untuk melahirkan pemimpin yang dipercaya masyarakat. Dari pemimpin yang lahir melalui proses yang berkualitas inilah diharapkan penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik. Legitimasi masyarakat pada hasil pilkada akan memengaruhi legitimasi pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan. Kepala daerah yang terpilih dengan dukungan luas dan melalui proses yang bersih akan lebih mudah menjalankan program pembangunan. Ia memiliki modal sosial yang kuat untuk merangkul masyarakat, sekaligus modal politik untuk bernegosiasi dengan lembaga lain. Sebaliknya, jika pilkada dipenuhi kecurangan, politik uang, atau manipulasi, maka sejak awal pemerintahan sudah kehilangan kepercayaan publik. Akibatnya, kebijakan pemerintah apa pun rentan ditolak masyarakat. Hal ini tentu merugikan daerah, karena energi yang seharusnya digunakan untuk membangun, justru habis untuk meredam konflik dan ketidakpuasan. Perspektif Hukum: Legitimasi dan Rule of Law Dalam ilmu hukum, legitimasi tidak hanya dipahami sebagai sahnya suatu tindakan berdasarkan aturan, tetapi juga penerimaan masyarakat terhadap aturan tersebut. Rule of law atau prinsip negara hukum menekankan bahwa setiap proses politik, termasuk pilkada, harus dijalankan sesuai hukum. Namun, hukum hanya akan bermakna jika dijalankan dengan integritas dan didukung oleh kepercayaan masyarakat. Itulah sebabnya, partisipasi masyarakat dan kualitas pemilu bukan hanya isu politik, melainkan juga isu hukum. Hukum pemilu tidak boleh berhenti sebagai teks undang-undang, melainkan harus hidup dalam praktik penyelenggaraan pemilu. Dengan begitu, hukum menjadi jembatan yang menghubungkan legitimasi prosedural dengan legitimasi substantif. Menatap Pilkada ke Depan Menjelang pilkada serentak yang akan datang, tantangan terbesar kita adalah menjaga kepercayaan masyarakat. Pemilih harus diyakinkan bahwa suaranya benar-benar berarti, bahwa tidak ada satu pun suara yang disia-siakan, dan bahwa setiap pilihan akan dihitung dengan adil. Untuk itu, pendidikan politik menjadi sangat penting. Masyarakat perlu disadarkan bahwa memilih adalah hak sekaligus tanggung jawab. Menolak politik uang, tidak golput, dan menggunakan suara secara bijak adalah bentuk partisipasi aktif dalam menjaga masa depan daerah. Di sisi lain, penyelenggara pemilu harus konsisten menjaga integritas. Transparansi, profesionalitas, dan keberanian menindak pelanggaran adalah cara terbaik untuk memperkuat legitimasi. Dengan demikian, pilkada dapat menjadi instrumen demokrasi yang benar-benar menghadirkan pemimpin berkualitas dan pemerintahan yang dipercaya rakyat. Legitimasi masyarakat dalam pilkada adalah fondasi bagi tegaknya demokrasi di daerah. Partisipasi pemilih memberi nyawa pada proses politik, kualitas pemilu memberikan kepercayaan, sementara penyelenggaraan negara yang baik menjadi buah yang diharapkan dari sebuah pilkada berkualitas. Sebagai Sarjana hukum, saya meyakini bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan aturan yang baik, tetapi juga partisipasi masyarakat dan integritas penyelenggara. Pilkada adalah momentum kita bersama untuk membuktikan bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan jalan menuju keadilan, kesejahteraan, dan kepercayaan rakyat kepada negara.


Selengkapnya
55

Menjaga Api Demokrasi dari Teras Indonesia

Oleh : Muslimin, S.IP (Kepala Sub Bagian Partisipasi, Hubungan Masyarakat dan Sumber Daya Manusia) Berbicara tentang demokrasi di Indonesia, sering kali pikiran kita tertuju pada hiruk pikuk politik di kota-kota besar. Namun harus kita sadari bahwa demokrasi itu tidak hanya tumbuh dari pusat kekuasaan, melainkan bisa lahir dan tumbuh dari daerah terluar yang mungkin saja jarang tersorot. Salah satunya Kepulauan Mentawai, daerah yang berdiri kokoh diteras depan Indonesia langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Sayangnya, posisi strategis itu tidak selalu sejalan dengan perhatian pembangunan. Mentawai sering dianggap sebagai “pinggiran”, padahal sejatinya ia adalah wajah depannya Indonesia. Jika demokrasi ingin benar-benar kokoh, maka wajah depan ini harus diperhatikan. Dari Mentawai, kita harus bisa meneguhkan optimisme baru tentang masa depan demokrasi Indonesia. Menyebut Mentawai sebagai teras Indonesia bukanlah sekadar metafora. Sama seperti teras rumah yang menjadi ruang pertama untuk menyambut tamu, Mentawai adalah pintu depan Indonesia di hadapan dunia. Maka membangun demokrasi di Mentawai berarti membangun demokrasi di wajah depan bangsa ini. Namun realitasnya, tantangan di Mentawai cukup besar. Akses antar-pulau yang masih terbatas, infrastruktur yang belum memadai hingga kondisi cuaca yang ekstrem sering menjadi kendala dalam penyelenggaraan pemilu. Meski begitu, justru di tengah keterbatasan itu kita menemukan semangat, masyarakat tetap hadir, tetap memilih dan tetap ingin suaranya didengar. Namun harus kita pahami demokrasi tidak bisa hanya diukur dari lancarnya pemilu lima tahun sekali. Demokrasi sejati membutuhkan kesadaran masyarakat tentang arti penting partisipasi. Di sinilah pendidikan politik memegang peran penting. Di Mentawai, pendidikan politik harus dijalankan dengan cara yang sesuai dengan kondisi lokal. Tidak semua warga mudah mengakses internet, sehingga pendekatan tatap muka, dialog kampung atau sosialisasi berbasis komunitas adat jauh lebih efektif. Anak-anak muda juga harus diajak aktif karena mereka adalah generasi yang akan melanjutkan cita-cita demokrasi. Selain itu, kelompok perempuan dan komunitas adat perlu mendapat ruang lebih luas. Demokrasi hanya bisa disebut sehat jika inklusif, memberi kesempatan kepada semua orang untuk terlibat. Dengan begitu, demokrasi di Mentawai bisa benar-benar tumbuh dari bawah dan untuk semua. Satu hal yang patut diapresiasi, tingkat partisipasi pemilih di Mentawai selama ini sangat tinggi. Di saat sejumlah daerah lain mengalami gejala apatisme, masyarakat Mentawai tetap datang ke TPS. Ini bukti nyata bahwa demokrasi masih hidup di teras Indonesia. Namun tentu partisipasi tidak boleh berhenti di bilik suara. Demokrasi akan lebih bermakna jika masyarakat juga aktif mengawasi jalannya pemerintahan, ikut memberi masukan, bahkan berani menyuarakan kritik. Partisipasi yang berkelanjutan inilah yang akan menjaga demokrasi tetap sehat, tidak hanya prosedural. Demokrasi bukan cuma soal pemilu yang tertib. Yang lebih penting adalah bagaimana hasil pemilu melahirkan pemimpin yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bagi Mentawai, ini berarti pemimpin yang peduli pada kebutuhan dasar masyarakat: perbaikan jalan dan pelabuhan, akses pendidikan yang lebih merata, pelayanan kesehatan yang layak, hingga perlindungan budaya lokal. Dengan begitu, demokrasi di Mentawai tidak hanya berhenti pada perhitungan suara, tapi benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari warganya. Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang memberi dampak nyata. Meski jauh dari pusat, Mentawai memberikan alasan kuat untuk tetap optimis. Tingkat partisipasi yang tinggi, semangat gotong royong, dan kearifan lokal yang masih terjaga menjadi modal sosial yang sangat berharga. Jika semua itu dirawat dengan baik melalui pendidikan politik dan dukungan kebijakan yang berpihak, maka Mentawai bisa menjadi contoh bagaimana demokrasi tumbuh subur dari daerah terluar. Optimisme ini perlu dijaga bersama. KPU dan Bawaslu harus terus aktif mengedukasi pemilih. Partai politik harus memberi ruang kaderisasi yang sehat. Pemerintah perlu memastikan pembangunan di Mentawai tidak lagi tertinggal. Dan masyarakat sendiri harus terus percaya bahwa suara mereka penting untuk masa depan bangsa. Mentawai adalah teras bukan pinggiran Indonesia. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa demokrasi Indonesia bukan hanya milik kota-kota besar, melainkan juga hidup di pulau-pulau kecil yang jauh dari pusat kekuasaan. Optimisme demokrasi dari Mentawai adalah optimisme bagi Indonesia. Selama pendidikan politik dijalankan, partisipasi dijaga, dan kualitas demokrasi ditingkatkan, maka asa demokrasi tidak akan pernah padam, bahkan dari daerah terluar sekalipun.


Selengkapnya
842

Rumah Pintar Pemilu Nova Indra

Oleh : Eki Butman (Ketua KPU kab. Kepulauan Mentawai) Rumah Pintar Pemilu adalah sebuah konsep pendidikan pemilih yang dilakukan melalui pemanfaatan ruang dari suatu bangunan atau bangunan khusus untuk melakukan seluruh program aktifitas project edukasi masyarakat. Rumah Pintar Pemilu selain sebagai tempat dilakukannya kegiatan Pendidikan Pemilih, pun sekaligus sebagai wadah bagi komunitas pegiat pemilu  untuk membangun gerakan. Keberadaan Rumah Pintar Pemilu menjadi penting untuk menjawab kebutuhan pemilih dan masyarakat umum akan hadirnya sebuah sarana untuk melakukan pendidikan nilai nilai demokrasi dan kepemiluan. Tujuan didirikannya Rumah Pintar Pemilu dan Kegiatan Pendidikan Pemilih adalah untuk meningkatkan partisipasi pemilih, baik secara kualitas  maupun kuantitas dalam seluruh proses penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, Rumah Pintar Pemilu juga diharapkan dapat menjadi Pusat Informasi Kepemiluan; mendidik masyarakat  tentang pemilu dan demokrasi; memperkenalkan nilai nilai dasar Pemilu dan Demokrasi serta meningkatkan pemahaman akan  pentingnya berdemokrasi. Rumah Pintar Pemilu KPU Kabupaten Kepulauan Mentawai resmi di launching pada tanggal 20 Desember 2018 oleh Almarhum Bpk. Nova Indra, waktu itu Almarhum sebagai Anggota KPU Provinsi Sumbar sekaligus Koordinator Wilayah Kepulauan Mentawai. Alm. Bpk. Nova Indra merupakan motivator sekaligus mentor terbentuknya Rumah Pintar Pemilu ini, seringkali almarhum memberikan arahan gagasan guna mendorong percepatan terbentuknya Rumah Pintar Pemilu di KPU Mentawai. Atas dasar menghormati dan mengenang dedikasi serta totalitas almarhum semasa aktif didunia kepemiluan, Mulai hari ini, 27 September 2021 Rumah Pintar Pemilu KPU Kabupaten Kepulauan Mentawai resmi dinamakan Rumah Pintar Pemilu NOVA INDRA. KPU Kepulauan Mentawai memiliki histori yang kuat dengan almarhum Bpk. Nova Indra, beliau merupakan Anggota KPU Provinsi yang paling sering mengunjungi Kepulauan Mentawai, bahkan beliau pernah sampai kepelosok pedalaman Mentawai (Muntei, Siberut Selatan) guna memastikan penduduk pedalaman agar dapat memiliki hak pilihnya. Beliau juga orang yang paling respon terhadap persoalan teknis kepemiluan di Mentawai. Izinkan nama almarhum NOVA INDRA terabadikan di ruangan ini sebagai kenangan atas kontribusi panjangnya bagi dunia Demokrasi yang dijalaninya lebih kurang 13 tahun sebagai komisioner KPU dan Satker Mentawai yang ia cintai. Jadikan rumah pintar pemilu ini lebih dari sekadar tempat membaca maupun media informasi terkait kepemiluan, namun juga bisa sebagai media penelitian ataupun tempat membangun komunikasi yg kuat antara penyelenggara dengan stake holder atau pemangku kepentingan demokrasi lainnya  Semoga dari Rumah Pintar Pemilu ini mengalir segala kebaikan, inspirasi dan pemikiran dan makin memperpanjang catatan amal jariyah dan catatan warisan campur tangan almarhum, serta menjadi kebanggaan bagi kita semua.


Selengkapnya