Merawat Legitimasi Masyarakat Dalam Pilkada
Oleh : Agung Pramono, S.H (Staff Sub Bagian Partisipasi, Hubungan Masyarakat dan Sumber Daya Manusia) Pilkada atau pemilihan kepala daerah selalu menjadi momen penting bagi kehidupan demokrasi kita. Dari pilkada, masyarakat diberikan kesempatan nyata untuk menentukan arah kepemimpinan di daerahnya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kualitas demokrasi lokal sangat ditentukan oleh bagaimana pilkada itu dijalankan. Sebab dari sinilah legitimasi pemerintahan daerah dibangun, bukan hanya sekadar melalui prosedur formal, tetapi juga melalui partisipasi masyarakat dan kualitas proses pemilu. Partisipasi Pemilih, Napas Demokrasi Partisipasi pemilih adalah kunci dari keberhasilan pilkada. Angka partisipasi yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat merasa memiliki kepentingan dan harapan terhadap pemimpinnya. Sebaliknya, rendahnya partisipasi sering ditafsirkan sebagai bentuk apatisme, kekecewaan, atau bahkan hilangnya kepercayaan pada proses demokrasi. Dari perspektif hukum tata negara, partisipasi masyarakat bukan sekadar angka statistik. Konstitusi kita, UUD 1945, menjamin kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, tanpa keikutsertaan rakyat, proses demokrasi kehilangan substansinya. Pilkada hanya akan menjadi ritual formal jika masyarakat tidak hadir di bilik suara. Lebih jauh, legitimasi hukum dari seorang kepala daerah tidak cukup hanya ditentukan oleh kemenangan di atas kertas. Legitimasi itu harus ditopang oleh penerimaan masyarakat luas. Jika tingkat partisipasi rendah, seorang pemimpin mungkin sah secara hukum, tetapi rapuh secara legitimasi sosial. Hal ini berbahaya karena dapat mengganggu stabilitas pemerintahan dan kepercayaan publik. Kualitas Pemilu, Fondasi Legitimasi Namun, partisipasi pemilih saja tidak cukup. Kualitas pemilu menjadi faktor yang tak kalah penting. Pemilu yang jujur, adil, dan transparan akan menghasilkan kepercayaan, sementara pemilu yang diwarnai kecurangan hanya melahirkan ketidakpuasan. Kualitas pemilu bisa diukur dari beberapa aspek: profesionalitas penyelenggara, netralitas aparat, keadilan bagi peserta pemilu, serta keterbukaan informasi kepada publik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun Undang-Undang tentang Pilkada telah memberikan rambu-rambu yang jelas untuk mewujudkan itu semua. Tantangannya ada pada konsistensi pelaksanaan. Sebagai penyelenggara, KPU bersama Bawaslu memiliki tanggung jawab besar menjaga kepercayaan publik. Transparansi tahapan, akurasi daftar pemilih, keadilan dalam distribusi logistik, hingga akuntabilitas dalam penghitungan suara adalah hal-hal teknis yang memiliki dampak langsung pada persepsi masyarakat. Dalam konteks hukum, adagium “justice must not only be done, but also be seen to be done” atau “keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus tampak ditegakkan” sangat relevan. Pemilu bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga soal proses. Masyarakat harus melihat, merasakan, dan percaya bahwa proses berjalan jujur. Harapan pada Penyelenggaraan Negara Pilkada sejatinya bukan tujuan akhir. Ia adalah sarana untuk melahirkan pemimpin yang dipercaya masyarakat. Dari pemimpin yang lahir melalui proses yang berkualitas inilah diharapkan penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik. Legitimasi masyarakat pada hasil pilkada akan memengaruhi legitimasi pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan. Kepala daerah yang terpilih dengan dukungan luas dan melalui proses yang bersih akan lebih mudah menjalankan program pembangunan. Ia memiliki modal sosial yang kuat untuk merangkul masyarakat, sekaligus modal politik untuk bernegosiasi dengan lembaga lain. Sebaliknya, jika pilkada dipenuhi kecurangan, politik uang, atau manipulasi, maka sejak awal pemerintahan sudah kehilangan kepercayaan publik. Akibatnya, kebijakan pemerintah apa pun rentan ditolak masyarakat. Hal ini tentu merugikan daerah, karena energi yang seharusnya digunakan untuk membangun, justru habis untuk meredam konflik dan ketidakpuasan. Perspektif Hukum: Legitimasi dan Rule of Law Dalam ilmu hukum, legitimasi tidak hanya dipahami sebagai sahnya suatu tindakan berdasarkan aturan, tetapi juga penerimaan masyarakat terhadap aturan tersebut. Rule of law atau prinsip negara hukum menekankan bahwa setiap proses politik, termasuk pilkada, harus dijalankan sesuai hukum. Namun, hukum hanya akan bermakna jika dijalankan dengan integritas dan didukung oleh kepercayaan masyarakat. Itulah sebabnya, partisipasi masyarakat dan kualitas pemilu bukan hanya isu politik, melainkan juga isu hukum. Hukum pemilu tidak boleh berhenti sebagai teks undang-undang, melainkan harus hidup dalam praktik penyelenggaraan pemilu. Dengan begitu, hukum menjadi jembatan yang menghubungkan legitimasi prosedural dengan legitimasi substantif. Menatap Pilkada ke Depan Menjelang pilkada serentak yang akan datang, tantangan terbesar kita adalah menjaga kepercayaan masyarakat. Pemilih harus diyakinkan bahwa suaranya benar-benar berarti, bahwa tidak ada satu pun suara yang disia-siakan, dan bahwa setiap pilihan akan dihitung dengan adil. Untuk itu, pendidikan politik menjadi sangat penting. Masyarakat perlu disadarkan bahwa memilih adalah hak sekaligus tanggung jawab. Menolak politik uang, tidak golput, dan menggunakan suara secara bijak adalah bentuk partisipasi aktif dalam menjaga masa depan daerah. Di sisi lain, penyelenggara pemilu harus konsisten menjaga integritas. Transparansi, profesionalitas, dan keberanian menindak pelanggaran adalah cara terbaik untuk memperkuat legitimasi. Dengan demikian, pilkada dapat menjadi instrumen demokrasi yang benar-benar menghadirkan pemimpin berkualitas dan pemerintahan yang dipercaya rakyat. Legitimasi masyarakat dalam pilkada adalah fondasi bagi tegaknya demokrasi di daerah. Partisipasi pemilih memberi nyawa pada proses politik, kualitas pemilu memberikan kepercayaan, sementara penyelenggaraan negara yang baik menjadi buah yang diharapkan dari sebuah pilkada berkualitas. Sebagai Sarjana hukum, saya meyakini bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan aturan yang baik, tetapi juga partisipasi masyarakat dan integritas penyelenggara. Pilkada adalah momentum kita bersama untuk membuktikan bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan jalan menuju keadilan, kesejahteraan, dan kepercayaan rakyat kepada negara.
Selengkapnya